kesetaraan gender, moral dan kode etik dalam berbagai aspek
ETIKA BISNIS
“KESETARAAN GENDER, MORAL DAN
KODE ETIK DALAM BERBAGAI ASPEK”
Nama : Anggun Rizki Apriliani
Kelas : 3EA27
NPM : 11214260
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Sejak dahulu dunia
sampai sekarang selalu menjadi milik kaum laki-laki, karena kaum pria sering
disebut dengan homo faber, maka hal tersebut merupakan factor penentu bagi
semua keinginan untuk berkuasa dalam dunia ini. Pria selalu dianggap baik,
sedangkan wanita selalu dianggap buruk. Banyak orang yang berpendapat bahwa
seorang wanita hanya merupakan harta milik, mereka sama saja dengan baju atau
harta yang bisa diperjual belikan. Karena prespsi itu Browmiler (1975), ia
munjulakan wanita sebgai “makluk yang diatur kaum pria” atau “mahluk yang
dikontrol pria”. Hal seperti ini harus dihindarkan, kita harus mengubah pola
pikir manusia yang beranggapan demekian. Yang menjadi masalah utama adalah
kebudayaan, yang mendefiiskan seorang wanita hanya menjadi seorang ibu dan
istri saja yang hanya mengetaui urusan rumah. Pada nyatanya wanita lebih
emosional dari pada kaum pria, sedangkan kaum pria lebih tidak tahu menyimak
dari pada kaum wanita. Bagi seorang wanita yang bekerja, dia tidak bisa lepas
begitu saja dari urusan keluarga dan dia tetap lah seorang ibu rumah tangga.
Sendi utama dalam
demokrasi yaitu kesetaraan gender, karena hal itu berarti menjamin bebasnya
berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen masyarakat. Ketidakadilan dan
ketidak setaraan gender memicu gagalnya dalam mencapai cita-cita demokrasi.
Kesetaraan dilakukan dengan diskriminatif oleh mereka yang dominan baik secara
kultural atau structural. Perlakukan diskriminatis dan ketidakadilan dapat
menimbulkan kerugian dan menunrukan kesejateraan hidup bagi pihak yang
termarginilisasi. Diskriminasi berbasis gender masih seing terjadi di dunia ini
dan dimana sebuah Negara telah menjalani demokrasi yang telah tercapai. Kaum wanita yang sering mengalami
diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan kaum laki-laki juga
mengalaminya. Pembakuan peranan dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang
paling utama dalam proses perbuatan social. Kaum perempuan lebih banyak
berdampak negativenya secara global tentang persoalan gender. Berbagai cara
telah dilakukan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang menyebabkan
ketidak adilan social dan bisnis. Usaha tersebut talah dilakukan oleh individu,
kelompok, Nasional atau pun internasional.
Agar suatu tujuan
perusahaan tercapai maka ditetapkannya sebuah peraturan, baik dalam industry
maupun jasa. Tujuan yang diingin capai perusahaan sebenarnya sama yaiutu untuk
mencapi laba/keuntungan sebsar-besarnya dan proktif dalam pengerjaan sehingga
kelangsungan perusahan dapat terjamin dalam jangka panjang. Pekerja merupakan
factor terpenting dan sumber utama bagi perusahaan, jika tidak ada manusia
tidak ada yang mengopasikan alat/mesin di perusahan meskipun mesin terbut
canggih. Hubungan pekerja dan perusahan merupakan hubungan timbal balik yang
menguntungkan, pekerja mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
perusahaan dapat mencapai tujuannya.
Gender merupakan
suatu pengertian social yang sangat dipengaruhi oleh agama, budaya, dan
kebijakan politik. Seperti seorang laki-laki diartikan sebagai orang yang
mencari nafkah, sedangkan wanita ditetapkan sebagai perran reproduksi dan
domestic. Di Indonesia, pengarusutamaan gender telah diinstruksikan oleh
Presiden melalui INPRES No. 9/2000 yang memiliki tujuan untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Pengarusutamaan
gender merupakan aspek yang penting dari good
governance, bagaimana
mendesain program pembangungan dan kebijakan yang dapat merespons kebutuhan
dan kepentingan perempuan yang
berbeda dengan laki-laki, dan mendistribusikan manfaat secara adil diantara perempuan dan
laki-laki. Seperti disebutkan dalam INPRES No. 9/200 bahwa
pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi
kebijakan dan program pembangunan nasional.
Perbedaan gender
seringkali menjadi suatu permasalahan yang menjadi tolak ukur dalam menentukan
seorang pemimpin dari sebuah organisasi. Kenyataanya, banyak bukti terbaru saat
ini perbedaan gender tidak lagi dalam contemprery sales organization (Schul dan
Wren, 1992). Hal inimenunjukan bahwa seiring dengan pekerembangan zaman,
perbedaan gender sudah bukan lagimenjadi sutu masalah yang serius. Amerika
percaya wanita mimiliki hal-hal yang tepat untuk menjadi pemimpin politik.
Keitika hal tersebut datang dari kejujuran, kecerdasan dan bebrapa karakter
lain yang dimiai sangat tinggi dalam pemimpin, tingkat public perempuan lebih
tinggi dari laki-laki (Pew Nasional baru pusat penelitian social dan Demografis
survey trends, 2008).
Tingkat terhadap pelanggaran
etika dalam dunia bisnis semakin kompleks adanya, pelaku bisnis sudah mulai
tidak memperdulikan lagi muatan etika yang terkandung didalam segala
profesinya. Terbongkarnya kasus Enron Corp pada tahun 2001 dan kasus-kasus
perusahaan besar lainnya yang terlibat dalam praktik manajemen laba memberikan
kesadaran tentang betapa pentingnya peran dunia pendidikan dalam menciptakan
sumber daya manusia yang cerdas dan bermoral baik. Dalam mempersiapkan sumber
daya manusia yang beretika dalam dunia kerja, maka semenjak dalam menempuh ilmu
di dunia pendidikan perlu adanya muatan etika dalam pembelajarannya. Muatan
etika dalam pendidikan akuntansi diharapkan mampu membentuk persepsi etis dari
calon akuntan yaitu mahasiswa akuntansi. Menurut Siagian (1996) menyebutkan
bahwa setidaknya ada 4 alasan mengapa mempelajari etika sangat penting: (1)
etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan yang dihadapi dalam
kehidupan, (2) etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan
nilai-nilai sehingga kehidupan yang harmonis dapat tercapai, (3) dinamika dalam
kehidupan manusia menyebabkan perubahan nilai-nilai moral sehingga perlu
dilakukan analisa dan ditinjau ulang, (4) Etika mendorong tumbuhnya naluri
moralitas dan mengilhami manusia untuk sama-sama mencari, menemukan dan
menerapkan nilai-nilai hidup yang hakiki. Penerapan etika yang tepat dalam
dunia pendidikan perlu untuk ditingkatkan, sehingga tindakan yang dijalankan
oleh calon akuntan sudah mulai terkontrol.
Robbins
dan Judge (2008) menyatakan bahwa persepsi, adalah sebagai suatu proses
individu yang mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris guna
memberikan arti bagi lingkungan. Sehingga yang mengubah seseorang tidak hanya
lingkungan bisnis saja melainkan dunia pendidikan juga dapat mempengaruhi
seseorang berperilaku etis (Sudibyo dalam Murtanto dan Marini, 2003). Salah
satu permasalahan yang sering terjadi adalah apakah gender mempengaruhi
sensitivitas etis setiap individu. menyatakan bahwa wanita lebih sensitif dalam
hal etika ketika mengungkapkan suatu kejadian etis atau tidak etis, serta
memiliki latar belakang dan pengembangan moral yang lebih baik jika
dibandingkan dengan pria. Seringkali wanita tidak menginginkan penyajian informasi
yang salah tentang laporan keuangan suatu perusahaan dan mereka mampu membuat
perubahan struktural dalam organisasi saat dirinya memiliki kekuasaan di bidang
perekonomian. Bahwa terdapat perbedaan orientasi etis diantara pria dan wanita.
Cohen et al. (1998) dalam Mutmainah (2007) juga memperkuat wanita lebih
memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di dalam situasi dilemma etis.
Di
sisi lain persepsi etis seseorang menurut Elias dan Farag (2010), dapat
dipengaruhi oleh faktor psikologis, yakni kecintaan individu terhadap uang.
Uang merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Seringkali uang
dianggap aspek terpenting dalam kehidupan dan digunakan untuk mengukur
keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Kecintaan terhadap uang banyak dikonotasikan
secara negatif dan dianggap tabu oleh kalangan masyarakat tertentu (Sloan,
2002). Singhapakdi dan Vitell (1993) memberikan bukti empirik dalam studi
mereka bahwa nilai-nilai personal yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi
sikap, yang pada akhirnya menentukan bagaimana dia mengambil keputusan dalam
bisnis. Lebih lanjut, pendapat ini didukung oleh Burdett (1998) dimana ia menyimpulkan
bahwa jika nilai-nilai personal yang dimiliki oleh seseorang sejalan dengan
nilai dan tujuan perusahaannya, maka akan memberikan efektititas dan sinergi
bagi kinerja organisasi secara keseluruhan.
Isu
perempuan ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidak adilan di
antara kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang sering disebut
ketidak adilan gender ini semakin tinggi
di kalangan masyarakat kita. Perempuan yang sekarang ini jumlahnya lebih besar
dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan menempati sektor-sektor publik
yang ikut berpengaruh di dalam menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan
penting. Kalaupun perempuan memasuki sektor publik, posisinya selalu berada di
bawah laki-laki, terutama dalam bidang politik. Kenyataan seperti ini tidak
hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga
terjadi di
negara-negara maju seperti Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Berbagai upaya ditempuh untuk mengangkat derajat dan
posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui berbagai institusi, baik
yang formal maupun yang nonformal. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah
terwujudnya keadilan gender (keadilan sosial) di tengah-tengah masyarakat. Di
antara strategi yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan tersebut adalah
melibatkan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini menjadi dominan di tahun
70-an. Setelah PBB menetapkan decade pertama pembangunan kaum perempuan,
sejak saat itulah hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan
kementrian peranan wanita (urusan perempuan) dengan tujuan utamanya adalah
peningkatan peran wanita dalam pembangunan.
Pemberian
kesempatan yang sama terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas di berbagai
bidang sebagaimana laki-laki ternyata tidak menjamin untuk terealisasikannya
keadilan gender. Penyebab utamanya adalah rendahnya kualitas sumber daya kaum
perempuan yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki
dalam pembangunan, sehingga posisi penting dalam pemerintahan maupun dunia
usaha didominasi oleh kaum lelaki. Disamping itu, kemajuan ekonomi mendorong
munculnya pelaku bisnis baru sehingga menimbulkan persaingan bisnis yang cukup
tajam. Semua usaha bisnis tersebut berusaha untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Namun terkadang untuk mencapai tujuan itu, segala upaya dan
tindakan dilakukan walaupun pelaku bisnis harus melakukan tindakantindakan yang
mengabaikan berbagai dimensi moral dan etika bisnis itu sendiri, termasuk.
Untuk mengantisipasi hal itu, maka profesionalisme suatu profesi harus dimiliki
oleh setiap anggota profesi, yaitu berkeahlian, berpengetahuan, dan
berkarakter. Karakter menunjukkan personalitas seorang profesionalisme yang
diwujudkan dalam sikap profesional dan tindakan etisnya (Machfoedz dalam
Martadi dan Suranta,
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kesetaraan gender dapat menyamakankedudukan atara laki-laki dan wanita ?
2.
Bagaimana
bentuk kesetaraan gender wanita dalam berbagai aspek ?
1.3.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetagui bagaimana kesetaraan dapat menyakan kedudukan antara laki-laki dan
wanita ?
2.
Untuk
mengetahui bentuk kesetaraan gender wanita dalam berbagai aspek ?
BAB
II
TELAAH
LITERATUR
1. PENGERTIAN
GENDER
Istilah
‘gender’ sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih banyak di antara
kita yang belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering
diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau
kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (Echols dan
Shadily, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984
‘gender’ diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise
Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990, kata ‘gender’ diartikan
sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain
yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis
kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’. Secara terminologis, ‘gender’
oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai harapanharapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan ‘gender’ sebagai suatu dasar
untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan
dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi lakilaki dan
perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih
menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan
sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 33-34). Dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentu rekayasa
masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
2.
Pengertian Moral
Menurut
Chaplin (2001), moral adalah hal yang menyinggung akhlak, tingkah laku yang
susila, ciri-ciri khas seseorang dengan perilaku pantas dan baik, menyinggung
hukum, adat istiadat, kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Menurut
Poespoprodjo (2009), ada tiga faktor penentu moralitas, pertama perbuatan
sendiri, yang dikehendaki individu memandangnya tidak dalam tertib fisik tetapi
dalam tertib moral. Kedua, motif yang dimiliki individu dalam pikiran ketika
melakukan suatu perbuatan secara sadar dilakukan sendiri untuk dicapai dengan
perbuatan sendiri, dan ketiga, keadaan, segala yang terjadi pada suatu
peristiwa atau perbuatan. Berdasarkan penelusuran peneliti melalui media massa,
didapatkan beberapa fenomena remaja cenderung melakukan tindakan amoral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) amoral diartikan sebagai tidak bermoral
atau tidak berakhlak.
Moral awareness didefinisikan sebagai derajat dimana seseorang
mengenali aspek-aspek situasi yang dapat dikategorikan sebagai moral yang salah
dan merugikan bagi orang lain, sekelompok orang, atau masyarakat lebih luas
(VanSandt et al. 2006) . Moral awareness di sini didefinisikan
dalam bentuk derajat, bukan sebagai sesuatu yang ada atau tiada. Definisi
tersebut merujuk pada definisi dari Blum (1991) yang membahas moral sebagai
suatu proses. Moralitas individu akan dijelaskan dalam level penalaran moral
individu, serta akan berpengaruh pada perilaku etis mereka (Puspasari, 2012).
3.
Pengetian Kode Etik
Kode
etik secara umum merupakan norma-norma, aturan dan asas yang diterima oleh
kelompok tertentu sebagai landasan atau pedoman tingkah laku atau berperilaku.
Tujuan dari kode etik ini adalah agar profesional melakukan perbuatan dengan
benar sesuai dengan pedoman yang ada. Kode etik adalah alah satu cara untuk
meningkatkan iklim organisasional sehingga seseorang dapat berperilaku secara
etis (Shaw & Barry, 1995 dalam Adam et al., 2001). Kode etik umumnya
termasuk dalam norma-norma sosial. Kode etik adalah sarana hukum dan
managerial, karena perusahaan dapat menggunakan kode etik secara hukum yang
bertanggung jawab untuk tindakan-tindakan karyawan, manager membuat kode etik
untuk memandu perilaku individu dan untuk menjaga perusahaan dari perilaku
karyawan yang tidak legal dan tidak etis (Adam et al., 2001). Perusahaan
umumnya membuat kode etik untuk mengurangi ambiguitas, meningkatkan
praktik-praktik etis dan menetapkan suatu etika yang kuat (Ibrahim, Angelidis,
& Tomie, 2009).
4. Jenis
Kelamin
Jenis
kelamin adalah suatu konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut non-biologis, yaitu dari
aspek sosial, budaya, maupun psikologis (Siti Mutmainah, 2006). Pengaruh dari
perbedaan jenis kelamin terhadap penilaian etis dapat dikatakan sangat kompleks
dan tidak pasti. Menurut Elias dan Farag (2010), persepsi etis dipengaruhi
faktor demografi (jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan), dan faktor
psikologis (spiritual dan locus of control).
5. Etika
Menurut
Ikhsan (2008), etika merupakan dasar atau aturan yang menentukan benar atau
salah. Sifat sangsi dari etika berupa moral psikologik, dimana mereka yang
tidak beretika akan dikucilkan atau disingkirkan dari pergaulan kelompok
profesi yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa tidak ada
seorang pun yang dirugikan dari segala aktivitas bisnis. Perilaku tidak
beretika dapat menimbulkan kekerasan, menghancurkan rasa percaya diri dan
menghasilkan tindakan yang tidak sebenarnya. Jadi, etika dapat dikatakan
sebagai ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa manusia harus
mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana mereka harus mengambil
sikap bertanggung jawab tentang berbagai permasalahan yang menyangkut tentang
ajaran moral.
BAB IV
PEMABAHASAN
Istilah
gender menurut Umar (1993) dalam Hastuti (2007) adalah suatu konsep kultural
yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang
mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam
mengelola, mencatat dan mengkomunikasikan hal atau informasi untuk menjadi
suatu hasil. Gill Palmer dan Tamilselvi Kandasami (1997) dalam Trisnaningsih
(2004) mengklasifikasikan gender dalam dua stereotipe, yaitu sex role
stereotype dan managerial stereotype.
Pandangan sex role stereotype menyatakan
bahwa pria lebih berorientasi pada pekerjaan, objektif, independen, agresif dan
lebih bertanggung jawab dalam hal manajerial. Wanita dipandang lebih pasif,
lembut, berorientasi pada pertimbangan, lebih sensitif dan rendah posisinya
pada pertanggungjawaban dalam organisasi. Managerial stereotype mengartikan
pria sebagai orang yang lebih memiliki sikap, perilaku dan temperamen
dibandingkan wanita. Pernyataan ini menimbulkan keyakinan bahwa wanita lebih
memiliki sensitivitas etis dibandingkan pria di dalam situasi dilema etis
(Cohen et al., 1998 dalam Mutmainah, 2007).
Perbedaan
Gender Dan Sex
Gender
berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama, yaitu jenis
kelamin (Echols dan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,
sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan
aspek-aspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada
perkembangan aspek biologis, komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi
fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya dalam tubuh seorang
laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada
perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis
lainnya. Jika studi sex lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness),
maka studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) dan
(femininity) femininitas seseorang.
Dalam
ilmu-ilmu sosial, gender diperkenalkan untuk mengacu pada
perbedaan-perbedaan antara perempuan
dan laki-laki tanpa konotasikonotasi
yang sepenuhnya bersifat biologis, tetapi lebih merujuk kepada perbedaan akibat
bentukan sosial. Karena itu, yang dinamakan relasi gender adalah seperangkat
aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam
kebudayaan yang menentukan batas-batas feminin dan maskulin (Macdonald dkk,
1999: xii). Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk menyebut femininitas dan
maskulinitas yang dibentuk secara sosial yang berbeda-beda dari satu kurun
waktu ke kurun waktu yang lain, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya.
Berbeda dengan sex (jenis kelamin), perilaku gender adalah perilakau
yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan semata-mata berasal dari
pemberian (kodrat) Tuhan yang tidakdapat dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah
perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang
ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat
kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah
sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di
tengah-tengah masyarakat.
Konsep
Kesetaraan dan Keadilan Gender
1.
Pengertian
a.
Kesetaraan
gender: Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan
memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan
potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Definisi dari USAID
menyebutkan bahwa “Gender Equality permits women and men equal enjoyment of
human rights, socially valued goods, opportunities, resources and the benefits
from development results. (kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan
maupun laki- laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya
sebagai manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya
dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan).
b.
Keadilan
gender: Suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya
dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan
laki-laki. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equity is the process
of being fair to women and men. To ensure fairness, measures must be available
to compensate for historical and social disadvantages that prevent women and
men from operating on a level playing field. Gender equity strategies are used
to eventually gain gender equality. Equity is the means; equality is the
result. (Keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada
perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia suatu
ukuran untuk mengompensasi kerugian secara histori maupun sosial yang mencegah perempuan
dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi keadilan gender
pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan
merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya).
2.
Wujud
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga
a.
Akses
diartikan sebagai “the capacity to use the resources necessary to be a fully
active and productive (socially, economically and politically) participant in
society, including access to resources, services, labor and employment, information
and benefits”. (Kapasitas untuk menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya
berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik)
dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan
pekerjaan, informasi dan manfaat). Contoh: Memberi kesempatan yang sama bagi
anak perempuan dan laki-laki untuk melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan
kemampuannya, dengan asumsi sumberdaya keluarga mencukupi.
b.
Partisipasi
diartikan sebagai “Who does what?” (Siapa melakukan apa?). Suami dan istri
berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan
sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu melibatkan anak-anak baik
laki-laki maupun perempuan.
c.
Kontrol
diartikan sebagai ”Who has what?” (Siapa
punya apa?). Perempuan dan laki-laki mempunyai kontrol yang sama dalam
penggunaan sumberdaya keluarga. Suami dan istri dapat memiliki properti atas
nama keluarga.
d.
Manfaat.
Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama bagi seluruh anggota
keluarga.
Kesetaraan
Gender Dalam Pandangan Islam
Sudah berabad-abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh
budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar
dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau juga agama-agama lainnya. Sebelum
datagnya Islam, posisi perempuan berada pada posisi ketidak seimbangan antra
social laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad perempuan berada dibawah
dominasi kaum laki-laki. Nasib perempuan begitu sengsara, dimana perempuan
dijadikan boneka untuk memuaskan nafsu para raja atau para penguasa. Dalam
kehidupan berumah tangga perempuan berada dibawah kekuasaan suaminya, perempuan
tidak memiliki hak yang semestinya. Seperti yang dijelaskan Al-Kurdi bahwa pada
masa islam belum datang ke tahan Arab wanita diangga sebagai : (1) perempuan
terhalang dari hak mewarisi; (2) suami berhak menceraikan isterinya seenaknya
dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri
sama sekali pasif dalam masalah ini; (3) tidak ada batasan dalam masalah jumlah
isteri; (4) isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5) menanam
hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat
Arab Jahiliah; (6) dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah
menghalalkan perkawinan istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan
isterinya yang telah bersih kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah
yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya, dan akhlaknya supaya
isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah itu ia 7 kembali
kepada suaminya lagi); dan (7) adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang
berarti pertukaran anak
perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum
kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar bagi
seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak
perempuan yang lain.
Dengan
itu Islam datang, dan memandang wanita sebagai makhul yang mulia dan terhormat,
makhluk yang memiliki hak disamping kewajiban. Islam mengaramkan perbuatan
perbudakan dan penganiayaan terhadap wanita. Islam memandang sama antra
laki-laki dan wanita dalam hal kemanusiaan. (Q.S. al-Hujurât (49): 13). Islam
juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubat (9): 71), memikul
beban-beban keimanan (Q.S. al-Burûj (85): 10), menerima balasan diakhirat (Q.S.
al-Nisâ’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan
dalam al-Quran. Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada perempuan setara
dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki. Kesetaraan ini bukan berarti
menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam segala hal. Tentunya
ada batasan-batasan tertentu yang membedakan wanita dengan pria.
Kesetaraan
Gender Dalam Bidang Pendidikan
Dalam
bidang pendidikan merupakan hal yang tepat untuk memperjuangkan kesetaraan
gender. Di Indonesia bisa kita lihat pemerintah membuat kebijakan di soal
kesetaraan gender dalam bidang pendidikan. Upaya pemerintah dalam meningkatkan
sumber daya manusi di bidang pendidikan terus dilakukan. Peraturan yang dibuat
pemerintah dalam soal pendidikan tidak ada yang mengarah pada ketimpangan
gender. Tidak ada peraturan yang melarang gender untuk meununtut pendidikan
dari tingkat SD, SMP, SMA/K dan bahkan pada tingkat perguruan tinggi. Kalau pun
itu terjadi perbedaan jumlah laki-laki atau perempuan pada tinggkat SMA, SMK
atau pun dipergurruan tinggi. Kebijakan ini dibuat karena pilihan para peserta
didik yang dipengerahui perbedaan kemampuan mereka. Perbedaan kemampuan
intelektual dan keterampilan anatra laki-laki dan perempuan itu menyebabkan
perbedaan antara jumlah peserta didik yang tidak seimbang meurut jurusan atau
program studi yang merka ambil. Kesenjangan pendidikan sering kita lihat pada
dunia pendidikan yang menengah atau tinggi, dalam hal proporsi laki-laki dan perempuan pada
jurusan, hal ini merupakankekurang informasi untuk memeilih jurusan atau
program studi dan tentunya ada faktr keluarga yang mempengaruhinya. Seringkali
mereka mendapat tekanan dari orang tua mereka, padahal jurusan yang dipilih
saat sekolah akan berakibat lanjut pada kesempatan bekerja dan meneruskan
pendidikan. Bisa ditegaskan di sini, bahwa di SMU sudah terjadi kesetaraan
gender dalam program penjurusan. Namun, yang terjadi di SMK masih terjadi
kesenjangan gender berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas
diikuti laki-laki atau perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program
studi Bisnis dan Manajemen, Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih
mendominasi program studi Teknik. Hal ini juga terjadi di jurusan-jurusan atau
program-program studi di perguruan tinggi.
Gender
Dalam Penilian Moral
Gender
merupakan salah
satu variabel yang banyak digunakan dalam variabel penelitian dalam literatur
etika bisnis (Nguyen et al., 2008). Variabel gender yang digunakan dalam
penelitian etika bisnis mengacu pada wanita dan pria. Lebih lanjut Nguyen et
al. (2008) menjelaskan alasan mengapa penelitian perbedaan gender dalam
penilaian etis (khususnya dalam etika bisnis) banyak digunakan, kerena dengan
masuknya wanita yang lebih banyak dalam posisi level managerial yang lebih
tinggi, pemahaman etika wanita dibandingkan dengan pria memberikan wawsan
tentang membina iklim etika positif dalam perusahan global.
Dalam
literatur psikologi ditawarkan beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan
perbedaan gender untuk berbagai jenis penilaian, intensi dan perilaku
(Shawver & Clements, 2014). Terdapat tiga teori utama yang banyak
didiskusikan dalam literatur untuk menjelaskan perbedaan gender, yaitu moral
orientation theory (Gilligan, 1982), social role theory (Eagly,
1987), dan gender socialization theory (Dawson, 1992; Dawson, 1997). Moral
orientation theory menjelaskan bahwa wanita dan pria menggunakan tipe
kognitif atau orientasi moral untuk memecahkan dilema moral. Wanita menunjukkan
orientasi kepedulian sedangkan pria menunjukkan orientasi keadilan dalam
memecahkan dilema moral. Social role theory menjelaskan bahwa wanita
dinilai positif untuk atribut mereka yang orientasinya hubungan dan sensitif
secara sosial, sedangkan pria dinilai untuk kesuksesan, keagresifan, dan
kemandirian mereka. Gender socialization theory menjelaskan bahwa karena
identitas gender adalah stabil dan tidak berubah, maka perbedaan
nilai-nilai, kepentingan atau minat dan perbedaan sifat yang dibawa oleh wanita
dan pria ke lingkungan kerja yang seharusnya menyebabkan perbedaan dalam
persepsi etis akan stabil sepanjang waktu. Contohnya personalitas feminin dan
maskulin yang dikembangkan dari masa kanak-kanak dan perbedaan-perbedaan dalam
nilai-nilai moral dan pandangan-pandangan etis akan terdeteksi melalui
kehidupan (Dawson, 1992). Teori ini juga menjelaskan bahwa wanita dan pria
secara fundamental menjalani perkembangan moral yang berbeda maka kecenderungan
mereka membawa sekumpulan nilai-nilai yang berbeda tersebut ke tempat kerja.
Perbedaan sekumpulan nilai-nilai tersebut menyebabkan perbedaan bentuk perilaku
dan sikap etis wanita dan pria. Dalam teori ini, pria menempatkan nilai-nilai
berdasarkan uang, kemajuan, kekuatan dan ukuran yang nyata kinerja personal,
sedangkan wanita lebih konsen pada hubungan yang harmonis dan membantu orang
lain (Clikeman, Geiger, & O’Connell, 2001).
Gender
Dan Masalah Perekonomian Rumah Tangga
Kebudayaan
yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi
indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan
hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan
informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya. Rumah
tangga merupakan representasi dari sebuah kelompok sosial yang bersifat umum.
Rumah tangga bisa dikategorikan sebagai hubungan sosial yang dekat, dimana
interaksi antarkeluarga terpusat pada hubungan antara laki-laki dan perempuan
dan hubungan antara anak dengan orang tua.
Dalam
kehidupan berumah tangga di dalam masyarakat masih adam pembagian kerja antara
perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan. Dalam pembagian pekerjaan
tersebut masihlah di pengaruhi oleh faktor gender. Pembagian pekerjaan tersebut
adalah perempuan bekerja di sector domestic dan yang laki–laki berkerja di
sektor non-domestik mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. Perempuan sering
di anggap hanya pantas bekerja di sektor domestic saja seperti memasak,mencuci,
mengasuh anak, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Hal seperti ini sering
terjadi di dalam perekonomian rumah tangga.
Dalam
perekonomian rumah tangga batasan-batasan seperti itu sebenarnya tidak bisa di
tentukan hanya karena mereka perempuan atau laki-laki saja karena pekerjaan
seperti itu bisa di lakukan oleh keduanya. Pekerjaan domesti bisa di lakukan
oleh orang laki-laki tidak hanya orang perempuan saja dan pekerjaan non domestik
juga di lakukan oleh orang perempuan tidak hanya bisa di lakukan oleh orang
laki-laki saja. Selain itu mereka juga bisa berbagi pekerjaan seperti orang laki-aki
membantu orang perempuan melakukan pekerjaan domestik tanpa meninggalkan
tugasnya di sektor non-domestik begitu pula sebaliknya dengan orang perempuan.
Dalam
ekonomi rumah tangga, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan pun yang mencari
penghasilan masih saja dalam sektor domestic, meskipun mereka melakukan
pekerjaan domestik tersebut untuk orang lain. Pekerjaan tersebut bisa di bilang
sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Meskipun, yang melakukan pekerjaan seperti
itu kebanyakan di lakukan oleh orang perempuan yang melakukan perantauan.
Mereka memilih pekerjaan ini mungkin karena pekerjaan ini pekerjaan yang paling
mudah menurut mereka dari pada pekerjaan yang lainnya. Pekerjaan rumah tangga
(PRT) mereka lakukan juga mungkin karena kurangnya pendidikan yang mereka
dapatkan yang membuat mereka tidak bisa bekerja di tempat–tempat yang lebih
layak atau memiliki posisi. Pekerjaan rumah tangga (PRT) juga bisa di pilih
sebagai pekerjaan oleh orang perempuan karena kondisi mereka yang membuat
mereka harus bekerja seperti itu.
Etika
Dalam Gender
Etika (ethics)
diartikan sebagai kumpulan dari prinsip moral yang membedakan antara
"salah" dengan "benar". (Brickley et.al,2002) mengungkapkan
bahwa etika merupakan bagian dari filosofi yang teorinya sudah lahir sejak dari
zaman Aristoteles. Terdapatnya perbedaan dasar filosofi akan mempengaruhi
perbedaan etis tidaknya suatu tindakan. Sebagai contoh, menurut teori egoisme,
suatu perbuatan dianggap etis apabila memberikan manfaat jangka panjang bagi
individu yang melakukannya. Sedangkan menurut utilitarian, sesuatu itu etis
jika perbuatan memberikan dampak baik lebih besar daripada dampak buruknya bagi
semua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Sehingga Brickley et.al
(2002) menyimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana suatu
perbuatan dikatakan etis atau tidak. Adanya multidimensi dalam mengukur etis
atau tidaknya suatu perbuatan juga telah disadari oleh Reidenbach dan Robin
(1990) serta Davis dan Welton(1991)
sebelumnya. Mereka mengungkapkan
bahwa untuk membuat suatu keputusan yang berkaitan dengan etika, seseorang
kadangkala menggunakan lebih dari satu alasan dan rasional. Sehingga, Davis dan
Welton(1991) mengadopsi model perkem-bangan moral Kohlberg guna menjelaskan
kecenderungan etika seseorang :
a.
Tahap
pre-konvensional, terdiri dari
Ø
Tahap
satu yaitu : dim ana seseorang sangat tergantung kepada peraturan dan hukuman
dari atasannya.
Ø
Tahap
kedua, dimana seseorang mengikuti peraturan jika sejalan dengan kepentingannya,
berusaha menghindari hukuman, dan melakukan tawar-menawar dengan aturan.
b.
Tahap
konvensional , yang terdiri dari:
Ø
Tahap
tiga, berusaha mendapatkan persetujuan dari teman-teman dan keluarga, dan ingin
menjadi lebih baik dimata sendiri.
Ø
Tahap
empat, mematuhi hukum dan peraturan, berusaha menghindari pelanggaran terhadap
kepentingan social.
c.
Tahap
post konvensional, terdiri dari:
Ø
Tahap
lima, kepedulian terhadap hak-hak orang lain, dan prinsip keadilan yang berlaku
umum.
Ø
Tahap
enam, peduli terhadap prinsip moral yang konsisten, persamaan hak azazi
manusia, dan menghormati harga diri individu.
Davis
dan Welton(1991) kemudian menyimpulkan tahap yang dianggap baik bagi pribadi
dan lingkungan sosialnya adalah ketika seseorang melewati tahap pertengahan
konvensional. Karena adanya proses perkembangan moral dan beberapa ukuran
etika, maka seseorang bisa dihadapkan pada situasi yang disebut dengan dilemma
etika. Glover,et.al (1997) menyebutkan dilemma etika bisa terjadi apabila
terdapat konflik antara nilai yang dipercayai seseorang dengan nilai-nilai yang
ada pada perusahaan tempat ia bekerja. Oleh sebab itu, seseorang bisa mengambil
keputusan secara etis apabila mereka fokus pad a integritas moral yang tinggi.
Jika tidak, maka keputusan yang dia ambil akan dipengaruhi oleh situasi pada
tahapan dilemma etika.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Gender
adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam
arti ini adalah suatu bentu rekayasa masyarakat (social constructions),
bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,
sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan
aspek-aspek non biologis lainnya. Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh
hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Dalam
kehidupan berumah tangga di dalam masyarakat masih adam pembagian kerja antara
perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan. Dalam pembagian pekerjaan
tersebut masihlah di pengaruhi oleh faktor gender. Pembagian pekerjaan tersebut
adalah perempuan bekerja di sector domestic dan yang laki–laki berkerja di
sektor non-domestik mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. wanita dan pria
secara fundamental menjalani perkembangan moral yang berbeda maka kecenderungan
mereka membawa sekumpulan nilai-nilai yang berbeda tersebut ke tempat kerja. utilitarian,
sesuatu itu etis jika perbuatan memberikan dampak baik lebih besar daripada
dampak buruknya bagi semua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, bahwa
tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana suatu perbuatan dikatakan etis atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Davidson,
B. I., & Stevens, D. E. (2013). Can a code of ethics improve manager
behavior and investor confidence? An experimental study. The Accounting
Review, 88(1), 51-74.
2.
Dewi, Putu Dewi Damayathi.” Pengaruh Idealisme,
Revitaliseme, Pengetahuan, Gender dan Umur Pada Perilaku Tidak Etis Akuntan”.
Vol 15 No.1, April 2016.
3.
Dr.Marzuki, M.Ag. “Studi Tentang
Kesetaraan Gender Dalam Berbagai Aspek
4.
Dra. Sri Suprapti,SE,MM. dan Joko
Riyanto,SE,MM.”Key Sukses Enterpreneur Activitiy Berdasarkan Gender Dalam
Pengembangan Kewirausahaan.
5.
Khotimah, khusnul. “Diskriminasi Gender
Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan”. Vol 4, No.1, Januari-Juni 2009.
6.
Mulyani,
Sri. “ Analisis Pengaruh Jenis Kelamin Dan Status Pekerjaan Terhaap Presepsi
Etis Mahasiswa Akntanis Dengan Love Money Sebagai Variabel Interveing”. Vol 14,
No 3, Juli 2015.
7.
Ni Ketut Ayu Purnamaningsih dan Dodik
Ariyanto. “Pengaruh Gender, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Status Soaial Ekonomi
Terhadap Presepsi Mahasiswa Akuntan” Vol.17, No.2, November 2016.
8.
Peran
Gender Dan Kode Etik Dalam Penilaian Moral Atas Budegtary Slack”
9.
Puspitawati
, Hrien.”Konsep, Teori dan Analisis Gender”.
2013.
10. Rosdiana, Julia Dewi, Luky Patricia
Widianingsih dkk. “Analisis Perbedaan Gender terhadap Perilaku Etis, Orientasi
Etis dan Profesionalisme pada Auditor KAP di Surabaya”. Vol 3, No.1, Juni 2014.
Komentar
Posting Komentar